Kalau ditanya, jelas kamu ingin segera berhenti. Lelah rasanya berjalan dengan hati yang tak terisi. Tanpa ada partner setara
yang biasa diajak berpikir tandem, mau tak mau kamu harus memutuskan
semua dengan intuisi dan pertimbangan pribadi. Entah kenapa kamu hanya
sedikit bosan berusaha terus jadi tangguh di titik ini.
Hati dan tubuhmu mulai rindu pada bahu yang bisa disandari di akhir
hari. Seseorang yang bisa diajak diskusi dan berbagi. Dia yang membuat
hidupmu tak kosong lagi. Demi perasaan genap itu, rasanya pintu hatimu
bisa terbuka untuk siapapun yang mengetuk lebih dulu. Kamu hanya tak
ingin ada sendiri lagi dalam kamusmu.
"Tapi tolong jangan biarkan rindu membuatmu terburu-buru. Jaga dulu hatimu sampai datang dia yang sedalam itu menyayangimu."
Menemukan telapak tangan yang jarak antar jarinya bisa jadi tempatmu
menyelipkan genggaman tiap pagi, mendengar halus nafasnya di sisi kiri
memang membuatmu tak lagi merasa sendiri. Ada rasa tenang di hati saat
tahu ada dia yang selalu bisa jadi tempat kembali.
Tapi hatimu bukan gelas kosong murahan yang hanya perlu diisi. Ia
juga layak mendapat perlakuan sebaik Tuan Putri. Sepi, seharusnya bukan
jadi alasan untukmu membuka hati lebar-lebar tanpa filter dan hanya
berujung pada infatuasi.
"Jika hanya untuk menambal sepi ikatan yang dijalani malah
bisa meninggalkan lebam biru di akhir hari yang kelak sulit diusir
pergi."
Bukankah kamu bukan pengangguran yang hanya butuh aktivitas pengisi
waktu? Bukankah masih banyak hal penting yang harus diperjuangkan di
hidupmu? Hati yang sepi itu harusnya tidak jadi alasan untuk menurunkan
kualitasmu. Bersabarlah, sampai orang yang tepat itu datang di
berandamu. Dia yang bisa membuatmu tahu kenapa ikatan sebelumnya selalu
mematahkan hatimu.
Lebih mudah rasanya membuka hati lebar-lebar sekarang. Kamu bisa berlindung di balik alasan, “Ingin mencari kawan bersenang-senang.” atau “Butuh pasangan yang menciptakan rasa tenang.” Namun bukankah hatimu sebenarnya tahu bahwa semua ini akan berujung pada gamang?
Jika mau menenangkan riuh di otak sementara waktu, bisa kau dengar
lamat-lamat derak nyeri dari hatimu. Ia hanya sedang dimanjakan
sementara, sampai nanti tiba waktunya kembali harus meranggas di bawah
sana. Kejamnya lagi, kamulah pelakunya. Orang yang sekian lama
mengeluhkan hati yang tak kunjung terisi sempurna. Alih-alih baik-baik
menggenapkannya, kamu justru sedang mengatur plot terbaik untuk kembali
menghancurkannya.
Ini terdengar klise sekali. Tapi nanti pasti datang seseorang yang membuatmu tak keberatan berhenti.
"Dia yang bisa mencintaimu sesuai keinginan, dia yang jadi perwujudan semua harapan."
Dalam pendampingannya ikhlas kau lakoni perubahan. Berhenti tak lagi
terasa menakutkan. Sebab bersamanya rasanya kalian bisa jadi partner yang baik untuk melanjutkan harapan.
Akan ada orang yang tetap mengacak rambutmu penuh rasa sayang selepas
kamu turun gunung dengan muka belang. Meski sedang gemuk-gemuknya
perlakuan manisnya padamu tak akan berkurang. Di sampingnya kamu hanya
akan dihantam perasaan senang. Tenang.
Tidak ada yang layak kamu jalani selain hubungan yang manis dan
menghangatkan hati. Bukankah selama ini standar tinggi yang diyakini itu
membuatmu rela bersusah payah menjaga diri? Perjuangan memantaskan diri membuatmu layak dihadiahi pasangan yang apik memperlakukan pun mendampingi.
Tolong jangan berhenti percaya bahwa dia yang datang nanti akan bisa menerima. Absurdnya kebiasaanmu, mood swing yang
sering datang mengganggu, sampai pemikiranmu yang kadang keras kepala
itu. Kalian akan jadi dua sahabat baik yang saling memahami, tanpa perlu
berbusa-busa menjelaskan apa yang diingini. Menemukan matanya di ujung
hari membuatmu mengerti — inilah muara dari petualangan hati selama ini.
Kamu tidak layak berhenti pada dia yang tak bisa menghargai. Terlebih hanya karena alasan butuh mengisi hati.
Tolong bersabar dulu.
"Sampai nanti dia datang, orang yang sedalam itu menyayangimu."
Sebab kamu layak disayangi sedalam itu. Tak ada alasan yang layak jadi pembenaran untuk menurunkan standarmu.
Bertahanlah Dulu. Sampai Nanti Datang Dia yang Sedalam Itu Menyayangimu | Nendra Rengganis | Jul 31, 2015
09.14 |
0 Comments